Jumat, 29 Juni 2012

MANAJEMEN STRES



Merapi sudah mereda, tetapi dampaknya belumlah reda. Pengungsi masih tersebar di berbagai penampungan, tempat tinggal yang layak masih mereka harapkan, sementara mata pencaharian bagi beberapa pengungsi tidak lagi dimiliki karena lahan pertanian tidak memungkinkan untuk digarap. Kondisi tersebut pada akhirnya dapat berdampak pada munculnya penyakit fisik dan gangguan jiwa  atau stres. Tetapi tidak selamanya stres membawa dampak negatif. Apabila kita mampu mengelola stres dengan baik, maka stres tersebut akan memberi dampak positif pada perilaku dan kehidupan kita.

Apa sebenarnya ‘stres’ itu?
Menurut literatur, stres adalah suatu kondisi dinamik yang didalamnya seorang individu dikonfrontasikan dengan suatu peluang, kendala, atau tuntutan yang dikaitkan dengan apa yang sangat diinginkannya dan yang hasilnya dipersepsikan sebagai tidak pasti dan penting. Dari pengertian tersebut, jelas bahwa stres dikaitkan dengan peluang, kendala, dan tuntutan serta ada ketidakpastian mengenai hasil dimana hasilnya adalah sesuatu yang memang penting.
Dilihat dari sisi peluang, stres mempunyai nilai positif. Dalam kondisi yang ‘mencekam’ ini terjadi peningkatan kesadaran manusia untuk selalu bekerjasama dan saling membantu. Kondisi di pengungsian tak beda jauh, mereka tinggal berkelompok, bekerjasama, dan saling membantu. Sedangkan, mereka yang tidak terkena musibah, banyak memberikan bantuan dalam berbagai bentuk secara ikhlas.
Stres dikaitkan juga dengan kendala dan tuntutan. Kendala adalah kekuatan yang mencegah seseorang dari melakukan sesuatu yang diinginkannya. Jelas bahwa mereka para pengungsi memiliki banyak kendala untuk melakukan sesuatu yang menjadi keinginannya. Sebagian dari mereka merasa sudah tidak punya apa-apa lagi. Mereka tidak punya ‘modal’ lagi untuk melakukan sesuatu. Dengan demikian secara otomatis, mereka kehilangan juga sesuatu yang sangat diinginkan, yang kita sebut sebagai tuntutan. Dalam suasana seperti ini, mereka pasti menghadapi ketidakpastian dalam kehidupannya di masa mendatang.

Apakah konsekuensi stres itu?
Stres membawa konsekuensi pada gejala fisiologis, psikologis, dan perilaku seseorang. Meningkatnya jumlah orang yang sakit di tempat pengungsian, seperti: sakit kepala, tekanan darah tinggi, dan berbagai penyakit lainnya merupakan gejala fisiologis. Gejala psikologis terlihat dari adanya pengungsi yang mengalami gangguan jiwa, depresi, ketegangan, kecemasan, kebosanan, serta emosional yang tinggi. Sedangkan gejala stres yang dikaitkan dengan perilaku dapat terlihat dari perubahan pola makan, perubahan pola tidur, meningkatnya konsumsi merokok bagi para perokok, berpindah-pindah tempat pengungsian atas kehendak sendiri, dan sikap yang terlihat ‘nglokro’ ataupun bermalas-malasan.
Supaya ketiga gejala yang memang sudah muncul ini tidak berkepanjangan maka stres harus dikelola, baik oleh para individunya sendiri maupun oleh lembaga terkait.

Bagaimana mengelola stres itu?
Setiap manusia dapat memikul tanggungjawab pribadi untuk mengurangi tingkat stresnya. Menurut Stephen P. Robbins, strategi individu yang telah terbukti efektif adalah dengan manajemen waktu, meningkatkan latihan fisik, relaksasi, dan perluasan jaringan dukungan sosial.
Sebagian pengungsi tetap menjalankan kegiatan yang biasa mereka kerjakan sebelumnya, seperti memberi makan ternak, memasak, membersihkan tempat pengungsian dan lainnya. Disadari atau tidak, mereka sudah memiliki rutinitas layaknya mengenal ‘ilmu manajemen waktu’ dengan baik. Tentu saja tidak demikian halnya bagi yang mengalami stres tingkat tinggi. Mereka justru tidak mampu melakukan apapun.
Peningkatan latihan fisik dan relaksasi sangat mendukung untuk mengurangi stres. Melakukan senam pagi bersama-sama sangat baik bagi pengungsi. Aerobik sebagai salah satu bentuk latihan fisik dapat meningkatkan kapasitas jantung, menurunkan laju detak jantung, memberikan suatu pengalihan mental dari suatu tekanan, dan menawarkan suatu cara untuk ‘melepas energi’. Kegiatan yang biasanya diakhiri dengan relaksasi ini dapat membantu seseorang untuk mengurangi tingkat stresnya. Selain mengikuti latihan fisik, alangkah baiknya juga bila mereka bersedia menghadiri segala macam kegiatan yang diselenggarakan oleh komunitas seniman, spiritual, dan berbagai komunitas lain yang bertujuan untuk memberikan pencerahan batin kepada mereka.
Memperluas jaringan dukungan sosial juga merupakan suatu cara untuk mengurangi ketegangan. Hal ini dilakukan dengan memiliki teman, keluarga, ataupun saudara yang mampu mendengar masalah-masalah mereka. Untuk itu, kita dapat membantu mereka dengan cara mendekati dan mendengarkan cerita mereka, tanpa ikut banyak bercerita. Dukungan sosial untuk mereka terlihat pada sinergi antara pemerintah, relawan, donatur, dan para korban sendiri. Tanpa ada kerjasama yang baik di antara mereka, akan semakin banyak korban gangguan jiwa. Penumbuhan harapan bagi mereka untuk kembali ke kehidupan normal dengan berbagai kebijakan, seperti pembangunan shelter, pembelian ternak, ganti rugi hasil pertanian, dan lainnya, tentu akan sangat membantu mereka terhindar dari stres.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar