Merapi sudah mereda, tetapi dampaknya belumlah reda. Pengungsi
masih tersebar di berbagai penampungan, tempat tinggal yang layak masih mereka
harapkan, sementara mata pencaharian bagi beberapa pengungsi tidak lagi dimiliki
karena lahan pertanian tidak memungkinkan untuk digarap. Kondisi
tersebut pada akhirnya dapat berdampak pada munculnya penyakit fisik dan
gangguan jiwa atau stres. Tetapi tidak
selamanya stres membawa dampak negatif. Apabila kita mampu mengelola stres dengan baik, maka stres tersebut akan
memberi dampak positif pada perilaku dan kehidupan kita.
Apa
sebenarnya ‘stres’ itu?
Menurut literatur, stres adalah suatu kondisi dinamik
yang didalamnya seorang individu dikonfrontasikan dengan suatu peluang,
kendala, atau tuntutan yang dikaitkan dengan apa yang sangat diinginkannya dan
yang hasilnya dipersepsikan sebagai tidak pasti dan penting. Dari pengertian
tersebut, jelas bahwa stres dikaitkan dengan peluang, kendala, dan tuntutan
serta ada ketidakpastian mengenai hasil dimana hasilnya adalah sesuatu yang
memang penting.
Dilihat dari sisi peluang, stres mempunyai nilai positif.
Dalam kondisi yang ‘mencekam’ ini terjadi peningkatan kesadaran manusia untuk
selalu bekerjasama dan saling membantu. Kondisi di pengungsian tak beda jauh,
mereka tinggal berkelompok, bekerjasama, dan saling membantu. Sedangkan, mereka
yang tidak terkena musibah, banyak memberikan bantuan dalam berbagai bentuk
secara ikhlas.
Stres dikaitkan juga dengan kendala dan tuntutan. Kendala
adalah kekuatan yang mencegah seseorang dari melakukan sesuatu yang
diinginkannya. Jelas bahwa mereka para pengungsi memiliki banyak kendala untuk
melakukan sesuatu yang menjadi keinginannya. Sebagian dari mereka merasa sudah
tidak punya apa-apa lagi. Mereka tidak punya ‘modal’ lagi untuk melakukan
sesuatu. Dengan demikian secara otomatis, mereka kehilangan juga sesuatu yang
sangat diinginkan, yang kita sebut sebagai tuntutan. Dalam suasana seperti ini,
mereka pasti menghadapi ketidakpastian dalam kehidupannya di masa mendatang.
Apakah
konsekuensi stres itu?
Stres membawa konsekuensi pada gejala fisiologis,
psikologis, dan perilaku seseorang. Meningkatnya jumlah orang yang sakit di
tempat pengungsian, seperti: sakit kepala, tekanan darah tinggi, dan berbagai
penyakit lainnya merupakan gejala fisiologis. Gejala psikologis terlihat dari
adanya pengungsi yang mengalami gangguan jiwa, depresi, ketegangan, kecemasan,
kebosanan, serta emosional yang tinggi. Sedangkan gejala stres yang dikaitkan
dengan perilaku dapat terlihat dari perubahan pola makan, perubahan pola tidur,
meningkatnya konsumsi merokok bagi para perokok, berpindah-pindah tempat
pengungsian atas kehendak sendiri, dan sikap yang terlihat ‘nglokro’ ataupun
bermalas-malasan.
Supaya ketiga gejala yang memang sudah muncul ini tidak
berkepanjangan maka stres harus dikelola, baik oleh para individunya sendiri
maupun oleh lembaga terkait.
Bagaimana
mengelola stres itu?
Setiap manusia dapat memikul tanggungjawab pribadi untuk
mengurangi tingkat stresnya. Menurut Stephen P. Robbins, strategi individu yang
telah terbukti efektif adalah dengan manajemen waktu, meningkatkan latihan
fisik, relaksasi, dan perluasan jaringan dukungan sosial.
Sebagian pengungsi tetap menjalankan kegiatan yang biasa
mereka kerjakan sebelumnya, seperti memberi makan ternak, memasak, membersihkan
tempat pengungsian dan lainnya. Disadari atau tidak, mereka sudah memiliki
rutinitas layaknya mengenal ‘ilmu manajemen waktu’ dengan baik. Tentu saja
tidak demikian halnya bagi yang mengalami stres tingkat tinggi. Mereka justru
tidak mampu melakukan apapun.
Peningkatan latihan fisik dan relaksasi sangat mendukung
untuk mengurangi stres. Melakukan senam pagi bersama-sama sangat baik bagi
pengungsi. Aerobik sebagai salah satu
bentuk latihan fisik dapat meningkatkan kapasitas jantung, menurunkan laju
detak jantung, memberikan suatu pengalihan mental dari suatu tekanan, dan
menawarkan suatu cara untuk ‘melepas energi’. Kegiatan yang biasanya diakhiri
dengan relaksasi ini dapat membantu seseorang untuk mengurangi tingkat
stresnya. Selain mengikuti latihan fisik, alangkah baiknya juga bila mereka
bersedia menghadiri segala macam kegiatan yang diselenggarakan oleh komunitas
seniman, spiritual, dan berbagai komunitas lain yang bertujuan untuk memberikan
pencerahan batin kepada mereka.
Memperluas jaringan dukungan sosial juga merupakan suatu
cara untuk mengurangi ketegangan. Hal ini dilakukan dengan memiliki teman,
keluarga, ataupun saudara yang mampu mendengar masalah-masalah mereka. Untuk
itu, kita dapat membantu mereka dengan cara mendekati dan mendengarkan cerita
mereka, tanpa ikut banyak bercerita. Dukungan sosial untuk mereka terlihat pada
sinergi antara pemerintah, relawan, donatur, dan para korban sendiri. Tanpa ada
kerjasama yang baik di antara mereka, akan semakin banyak korban gangguan jiwa.
Penumbuhan harapan bagi mereka untuk kembali ke kehidupan normal dengan
berbagai kebijakan, seperti pembangunan shelter, pembelian ternak, ganti rugi
hasil pertanian, dan lainnya, tentu akan sangat membantu mereka terhindar dari
stres.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar